“TRANSFORMASI STAIN TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH MENUJU PERGURUAN TINGGI UNGGUL DAN BERDAYA SAING”
Melawan Bungkam

Menjaga Kewarasan dengan Perlawanan

Bersikap diam dan ‘bodoh amat’ dianggap memiliki kemiripan pada fungsi dan maknanya. Dilihat dari sisi sebab dan akibat yang ditimbulkan, tidak ada yang memberikan dampak positif yang signifikan pada keberlangsungan hidup masyarakat luas di Negara Demokrasi seperti Indonesia. Akibatnya hanya membiarkan penyelenggaraan rutinitas belaka yang tidak ada kemajuan dan perbaikan. Nihil evaluasi dan pengawasan. Kepedulian terasa memudar dan bahkan menghilang. Diam disebabkan oleh tujuan subjektif dari individu atau kelompok masyarakat tertentu yang dipahami sebagai alternatif utama dalam bertindak. Cari ‘jalan aman’ dengan membatasi situasi dan kondisi bisa membutakan mata hati dan menundukkan akal sehat. Sehingga sampai kapanpun tidak akan ditemukan tindakan rasional dalam keseharian. Baik itu di dalam lingkup keluarga, pertemanan, perkuliahan, dan masyarakat yang lebih luas.
Motif tertentu yang dimiliki oleh individu menentukan tindakan apa yang dipilih untuk dilaksanakan. Dalam Islam, misalnya. Tidak heran ketika hadis tentang perintah diam dan menjaga lisan dijadikan sebagai landasan bertindak di ruang lingkup yang lebih luas. Maka dominasi efek negatif menjadi-jadi. Bahkan menimbulkan ambiguitas dan melemahkan nilai-nilai luhur yang harus diperjuangkan. ‘Diam adalah emas’ kemudian dioperasionalkan sebagai bentuk reaksi sosial menghadapi problematika kemasyarakatan, kebangsaan, dan keberagamaan. Kekhawatiran semakin bertambah ketika ditemukan adanya pemahaman bahwa diam dan bungkam adalah doktrin keagamaan yang menjadi landasan dalam merespon penyelewengan penguasa. Ada upaya rasionalisasi nilai dalam beraksi. Namun sepertinya tidak sampai sejauh itu, karena memang hanya sebuah kekhawatiran. Kritik yang perlu disampaikan dewasa ini adalah tentang pudarnya sense of crisis di dalam banyak hal. Sivitas akademika menjadi tumpuan kesadaran dan akal sehat bagi penyelenggara kebijakan. Lagi-lagi, dikhawatirkan bagi ‘manusia kampus’ terbuai dalam dunia gagasan dan ide tanpa adanya upaya transformasi ilmu pengetahuan menjadi langkah dan upaya kongkrit sebagai bentuk problem solving bagi masyarakat luas.
Konstekstualisasi makna diam dalam hal kebaikan tidak bisa hanya dibatasi dengan ‘cari aman’ atau ‘jaga perasaan’ saja. Namun juga sebagai bentuk resistensi tertutup. Mengusik singgasana pemimpin dengan cara berbicara dan menyampaikan aspirasi ‘rakyat kecil’ adalah bagian penting untuk menjadi agent of change. Jika dilihat dari sisi arah dan tujuan komunikasi, penyampaian pesan kritik yang benar adalah hal yang sangat menggigit, jika yang dihadapi adalah pemimpin. Sampaikanlah walaupun itu pahit. Terdengar klise dan idiomatik. Namun impact yang dihasilkan jika dilakukan dengan baik dan tepat sasaran dapat dirasakan oleh tidak hanya individu tertentu melainkan khalayak ramai. Tentunya, bungkam bukanlah main alternative jika ingin menawarkan perubahan. Perkembangan sosial akan bergerak statis bahkan merosot. Degradasi moral yang malah lepas kendali. Fungsi pengawasan sebagai individu sosial tidak bekerja dengan baik. Apalagi berbicara soal fungsi sebagai homo academicus. Dosen dan mahasiswa tidak hanya hadir di kampus dan melaksanakan proses perkuliahan semata. Ditambah lagi dengan model perkuliahan yang sangat outdated yaitu kehadiran di kelas sebagai proses dan perolehan nilai yang terpampang di Kartu Hasil Studi sebagai output. Kampus adalah tempat dimana gagasan diuji dan dipertanyakan kemapanannya. Ilmu pengetahuan dikembangkan, nalar kritis dilatih dan disemai dalam relung-relung diskusi dan interaksi keseharian akademik. Pada tataran hilirnya, menelurkan bibit-bibit intelektual organik. Bibit yang harapannya dalam jangka panjang dapat menjadi problem solver bagi penyakit sosial kemasyarakatan.
Sebagai pelaku sosial, ada kondisi bagi dosen dan mahasiswa yang membatasi tindak-tanduknya. Dimana kondisi itu tidak dapat diubah dengan sendirinya. Perlu dilakukan evaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Bungkam terhadap persoalan rakyat kecil di negeri ini adalah tindakan yang dibatasi oleh kondisi tertentu. Kondisi ini dikhawatirkan akan mendarah daging dan menguras sari kewarasan individu bahkan menggiring ke arah kedunguan yang terorganisir. Khususnya bagi mahasiswa. Kondisi yang berawal dari pengekangan atas ruang kebebasan akademik menuju pembiasaan terstruktur yang menjadi habit dan hal yang wajar. Sehingga diam seolah-olah menjadi satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh penduduk perguruan tinggi.
Berbicara adalah Melawan. Perlawanan tidak melulu bermakna negatif. Secara terbuka, perlawanan dapat dilakukan dengan harapan perubahan yang diinginkan dapat terwujud secara efektif. Tindakan sebagai bentuk protes yang terukur dan mempertimbangkan efek dan outputnya akan menyalurkan penyampaian gagasan dan ide yang mungkin terlambat disadari atau kesulitan disampaikan oleh masyarakat awam. Tindakan perlawanan semacam ini masuk ke dalam kategori rasionalitas instrumental. Mahasiswa sebagai pelaku sosial mampu melakukan kajian mendalam terkait kemerosotan sosial dan penyakit kemanusiaan yang terjadi. Kategori ini tidak terlepas dari pemikiran secara sadar bahwa mereka memiliki kapasitas untuk melakukannya. Landasan persatuan, kebersamaan dan kapasitas organisasi sebagai payung pergerakan dapat menjadi instrumen perlawanan secara terbuka. Pergerakan mahasiswa menjadi stimulus bagi lahirnya dampak perubahan yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup jangka panjang. Pengaruh tersebut bersumber dari pertimbangan-pertimbangan rasional yang telah dimusyawarahkan bersama. Dengan tujuan kepentingan orang banyak, bukan untuk kebutuhan pribadi. Maka dari itu, homo academicus, bisa menjadi representasi rakyat. Gagasan yang dibangun oleh mahasiswa bisa tersampaikan dengan narasi yang bisa diterima secara rasional.
Esensi Pesan
Suara mahasiswa adalah suara rakyat. Seharusnya tidak hanya menjadi jargon artifisial yang tidak bermakna. Kehadiran mahasiswa di dalam konstelasi demokrasi di Indonesia bahkan menjadi the most powerful item dari struktur demokrasi itu sendiri. Bagaimana tidak, sudah dibuktikan dengan gerakan perlawanan reformasi 1998. Yang didalangi oleh pemuda-pemudi kaum intelektual di masanya yang resah dengan kondisi penuh keterbatasan dan kesenjangan yang sangat berjarak antara penguasa dan rakyat. Istilah people power juga sering didengungkan untuk membangkitkan kembali perlawanan yang sistemik. Walaupun tidak jarang juga malah dianggap sebagai upaya politisasi dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Padahal upaya membangkitkan perlawanan adalah salah satu cara mempertajam standar nalar kritis dalam berdemokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah bukan dikekang oleh oligarki dengan segala kepentingannya. Namun demokrasi yang mengatasnamakan segala sesuatunya kepada rakyat. Kaum intelektual, dalam hal ini mahasiswa, menjadi front page untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Suara dan harapan yang dinarasikan se-rasional mungkin agar tidak mudah dibantah mentah-mentah oleh para penguasa. Yaitu dengan menggunakan narasi yang mengakar pada pondasi keilmuan, akal sehat dan nilai kebermanfaatan masyarakat luas. Tidak sedikit perlawanan terbuka yang digawangi oleh mahasiswa mendapatkan perhatian dari penguasa. Tapi, ada saja yang tidak menghasilkan tindak lanjut kongkritnya. Hanya dianggap sebagai teriakan-teriakan yang mengganggu dan menimbulkan keresahan. Padahal rakyat sangat menggantungkan nasib pada esensi pesan yang ingin disampaikan. Walaupun demikian, setidaknya ketika pesan tersampaikan, maka kualitas demokrasi masih bisa ditingkatkan. Harapan menuju perubahan yang lebih nyata tidak tertutup terlalu cepat.
Bagaimana pesan rakyat tersampaikan dan memberikan perubahan yang lebih nyata? Tutur kata dalam penyampaian menentukan emosi yang terkandung dalam pesan yang ingin ditujukan kepada lawan bicara. Berkata benar dan atas dasar kepentingan rakyat harus dilakukan secara elegant. Bukan dengan mencaci, sumpah serapah, intimidasi dan bentuk tutur kata negatif lainnya. Apalagi menyinggung unsur SARA yang malah mempersulit kondisi penuntut atau hajat orang banyak. Memahami keadaan lawan bicara juga bagian terpenting dalam membangun komunikasi secara bertahap. Taat pada hukum yang berlaku, apalagi di Negara Hukum seperti di Indonesia, tidak boleh tidak. Menyampaikan kritik terbuka kepada penguasa melalui mural di jalanan, misalnya, akan menimbulkan masalah baru, seperti pelanggaran terhadap Perda yang mengatur tentang pemeliharaan fasilitas publik. Bukannya memberikan solusi, malah menjerumuskan diri ke dalam masalah baru. Nilai moral perlu dijaga. Bahwa bisa saja, apa yang disampaikan dianggap tidak layak diperbincangkan di hadapan orang banyak. Terkadang, pesan bisa disampaikan dengan cara-cara gradual dan tersirat. Tapi umumnya, harus dipaparkan secara tegas dan nyata. Apalagi berbicara tentang rakyat yang teraniaya dan penguasa yang korup dan lalim. Penyampaian pesan dan aspirasi rakyat kepada penguasa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama, terutama dalam agama Islam. QS. An-Nahl: 125 menjadi cerminan bagi penganutnya untuk mengutamakan dialog dan diskusi dua arah saat penyampaian gagasan, pesan, masukan dan kritik. Terutama kepada penguasa.
Bungkam berarti memberikan kebebasan tak terkendali bagi penguasa. Dengan berbicara, akal sehat terjaga dan hati nurani bersemi di antara rakyat jelata. Perlawanan tidak selalu memiliki konotasi negatif. Menghidupkan perlawanan yang terstruktur dengan mengedepankan kepentingan orang banyak (rakyat) adalah sikap paling mulia dalam hidup berdemokrasi. Suara rakyat disampaikan dengan cara-cara yang brilian dan elegan agar mendapatkan perhatian dan tindak lanjut yang nyata bagi pemegang kebijakan. Kampus punya cara tersendiri dalam membangkitkan hidup bernalar kritis dan pembangunan nilai-nilai kemanusiaan yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tabik.