“TRANSFORMASI STAIN TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH MENUJU PERGURUAN TINGGI UNGGUL DAN BERDAYA SAING”
DICIS: Sinergisitas Pengetahuan dan Pemahaman Moderasi Beragama
Oleh: Jovial Pally Taran

The 2nd Dirundeng International Conference for Islamic Studies atau DICIS yang diselenggakaran oleh STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh mengundang berbagai ilmuwan dan akademisi dalam rangka menyampaikan wawasan terkait moderasi beragama, perbedaan dan pertukaran budaya dalam peradaban Islam. Kegiatan ini menghadirkan Keynote Speaker dari beberapa Negara, Yaitu Prof. R. Michael Feener dari Jepang, Prof. Karim D. Crow dari AS, Dr. Khalid Zahri dari Maroko, Annemarie Samuels dari Belanda, dan beberapa lainnya dari Indonesia seperti Prof. Asna Husein, Prof. Muhammad Adlin Sila, Dr. Abdul Manan, Dr. Erizar dan Dr. Anton Jamal.
Selain itu, kegiatan ini juga menghadirkan 60 presenter terbaik yang terpilih dari hasil seleksi. Para presenter terbaik ini mempresentasikan makalah atau hasil penelitiannya terkait berbagai topik yang telah ditentukan oleh panitia sebelumnya. Berbagai topik tersebut mencakup bidang pendidikan, sejarah, budaya, agama, ekonomi dan lain sebagainya.
Dalam penyampaian materi di hari pertama, di antara keynote speaker membahas terkait temuan arkeologis baik di Maldives dan Indonesia terutama Aceh, yang disampaikan oleh Prof. R. Michael Feener. Penelitian Maritime Asia Heritage Survey (MAHS) yang dipimpin olehnya merupakan penelitian warisan budaya di beberapa negara maritim rawan bencana, yaitu Maldives, Indonesia, Sri Lanka, Vietnam dan Brunei Darussalam. Saat ini penelitian sedang berlangsung di dua negara, Maldives dan Indonesia. Beragam objek arkeologis telah ditemukan di Maldives diantaranya coral stone (batu karang) berupa bangunan tua baik masjid atau rumah, maupun batu nisan kuno. Beragam jenis epigraf dan ornamentasi ditemukan pada berbagai nisan kuno yang menandakan ragam usia pada nisan-nisan tersebut.
Sementara survei arkeologis yang sedang dilakukan di Indonesia sudah merekam beberapa situs utama di Aceh Besar, Banda Aceh, Aceh Utara, Pidie dan Bireuen. Situs-situs utama tersebut diantaranya berupa bangunan Masjid Tua Indrapuri, Benteng Indrapatra, Gunongan Banda Aceh, Kompleks Museum Aceh, Kompleks Makam Malik Ash-Shalih Aceh Utara, Kompleks Makam Minyeu Tujoh, dan beberapa situs utama lainnya di kelima kabupaten tersebut. Sedangkan target penelitian di Aceh masih menyisakan satu kabupaten yaitu Aceh Barat Daya. Pada kabupaten ini terdapat sisa-sisa Kerajaan Kuala Batee, yang berdiri sejak abad 18 hingga 19 CE. Rencananya, kegiatan penelitian di Kuala Batee ini akan melibatkan STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh sebagai partnership penelitian.
Dr. Abdul Manan, sebagai pemateri kedua, memberikan wawasan terkait kontroversi penerapan hukuman cambuk di Aceh yang terus menuai pro-kontra. Pihak yang mendukung diberlakukannya hukuman cabuk menyebutkan bahwa penerapan hukuman cambuk tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), hukuman cambuk bukanlah sebuah lelucon, melainkan sebuah bagian dari implementasi penerapan Syari’at Islam. Sementara pihak yang menolak menjelaskan bahwa penerapan hukuman cambuk telah melanggar HAM, dan melanggar Konvensi Hukum Internasional tahun 1998 (Amnesty International), serta penerapan hukuman cambuk di Aceh terkesan tidak adil dan objektif, hanya berfokus pada masyarakat kecil dan hanya di bagian kota saja.
Kemudian Prof. Muhammad Adlin Sila dan Dr. Anton Jamal kompak membahas pemahaman moderasi beragama yang masih dinamis di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Istilah moderasi beragama yang digaungkan oleh Pemerintah Indonesia belum sampai pada titik final. Titik final dimaksud adalah kesepakatan atau persamaan persepsi mengenai makna moderasi beragama itu sendiri. Secara garis besar istilah ini digunakan bertujuan memagari masyarakat agar mampu bersikap toleran antar umat beragama. Dengan kata lain, berusaha menjauhkan masyarakat dari sikap radikal dan berlebihan dalam menyikapi perbedaan beragama. Hal ini dirasa penting agar tidak menimbulkan gesekan atau konflik antar sesama umat beragama.
Di hari kedua, materi tidak kalah menarik disampaikan oleh Prof. Karim D. Crow, Prof. Asna Husein dan Dr. Erizar pada sesi pagi hari. Prof. Karim menjelaskan terkait perkembangan dan pemahaman modernitas yang disanding dengan relijius atau agama. Bahwa perkembangan modernitas sejak era pencerahan (abad 18), telah membawa pemahaman masyarakat dunia secara umum kepada sikap rasional dan positivism. Dimana hal ini bertujuan untuk membebaskan umat manusia dari sikap takhayul dan kepercayaan irrasional, dalam arti kata lain kebebasan dari monarki maupun gereja katolik.
Akan tetapi, modernitas memiliki sisi gelap didalamnya, dimana adanya kegagalan membangun sikap sosial yang kuat. Seyogyanya peradaban Islam yang didasari oleh Al-Qur’an dan Sunnah, yang diintegrasikan ke dalam karakter yang luas dari tradisi budaya, bahasa, etnik dan ras telah mempraktekkan adanya hubungan atau jaringan yang kuat berdasarkan agama meskipun itu terpisah dari segi daerah atau kawasannya. Dengan kata lain, diversity atau perbedaan telah diakomodasi oleh agama yang sesuai dengan pemahaman yang benar dan jauh dari sikap kekerasan serta radikal.
Meskipun demikian, agama, terutama Islam tetap menjaga sikap rasionalitas bagi pemeluknya. Dalam kata lain, Islam memerintahkan kita untuk terus belajar dan mempelajari dunia ini seluas mungkin, dengan tujuan memberikan kemaslahatan bagi umat. Selaras dengan itu, Prof. Asna Husein memaparkan bahwa Aceh di masa lampau menjadi salah satu contoh bagi peradaban Islam yang sebenarnya, dimana kemajuan pengetahuan ilmu agama dibarengi dengan kemajuan pengetahuan lainnya, semisal karya berbagai kitab/turats, seni, sastra, filsafat dan lain sebagainya. Bahkan Aceh menjadi terkenal disebabkan oleh kemajuan peradaban Islam pada masanya. Namun sangat disayangkan saat ini Aceh mengalami kemunduran, tidak adanya lagi lahir ulama-ulama produktif semisal Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatra’I, Nuruddin Ar-Raniry dan Abdurrauf As-Singkili.
Dari berbagai materi yang telah disampaikan baik oleh keynote speaker maupun para presenter memperkaya khazanah intelektual muslim dari berbagai aspek ilmu pengetahuan. Tidak hanya mengkaji aspek pengetahuan masa lampau atau turats, tetapi umat Islam juga dituntut untuk terus mengkaji perkembangan zaman terutama tantangan era digital dan disrupsi dalam konteks keseimbangan dunia dan akhirat. Semoga terselenggaranya rangkaian kegiatan DICIS 2021 ini memberi dampak yang luas bagi berbagai kalangan terutama akademisi, mahasiswa dan tentu saja masyarakat secara umum. Terima kasih.