“TRANSFORMASI STAIN TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH MENUJU PERGURUAN TINGGI UNGGUL DAN BERDAYA SAING”
Memaknai Enam Tahun STAIN Meulaboh dalam Peta Evolusi PTKIN
Memaknai Enam Tahun STAIN Meulaboh dalam Peta Evolusi PTKIN
Oleh:
Muhajir Al-Fairusy
(Dosen Fakultas Dakwah STAIN Meulaboh & Peneliti CSRC UIN Jakarta)
E.B. Taylor (1865) memandang jika kebudayaan manusia berlangsung dengan kerangka evolusi dalam tiga tahap; savagery, barbarism dan civilization. Perkembangan teknologi dan ekonomi menjadi unsur kebudayaan untuk membedakan tiga tahapan tersebut. Pasca teori evolusi, di kalangan ilmuwan sosial dari ahli kebudayaan di Inggris dan Jerman kembali memunculkan paradigma lain yakni diffusionisme. Perlahan, mulai muncul kirik terhadap teori evolusi, yang dianggap terlalu menekan faktor internal, dan kurang memperhatikan faktor eksternal dalam konteks perubahan kebudayaan (Ahimsa Putra, 2008).
Pembuka diskusi di atas merupakan refleksi yang disampaikan oleh Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra, guru besar anthropologi Universitas Gadjah Mada dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar dengan tema Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antrohopologi Budaya; Sketsa Beberapa Dekade. Dalam konteks ini, saya mencoba menyeleraskan proses perubahan kebudayaan dalam studi ilmu sosial, khususnya di kalangan para anthropolog dalam melihat kebudayaan dengan keberadaan wajah PTKIN di Indonesia yang terus mengalami perkembangan dan kini menyebar keberadaannya di seluruh Indonesia.
Dalam satu kesempatan, saya duduk semeja dengan Fuad Jabali (dosen sejarah UIN Jakarta) dan Idris Hemay (Direktur CDRC UIN Jakarta) di salah satu resto hotel kawasan Puncak-Bogor. Sembari makan malam, Fuad bercerita sosok Harun Nasution (HN). Pandangan Fuad, UIN mungkin takkan pernah ada tanpa cita-cita HN. Sejak lembaga Pendidikan Tinggi Islam dilahirkan di Indonesia, salah satu cita-cita terbesar HN selama puluhan tahun adalah lahirnya UIN yang dapat mengintegrasikan pengetahuan umum dalam lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Mimpi HN kini menyebar di beberapa Provinsi di Indonesia, UIN hadir sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi yang diminati oleh generasi Indonesia untuk menggapai mimpi dan memenuhi dahaga pengetahuan.
PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) cenderung dipahami oleh masyarakat dan kalangan akademisi bertransformasi bentuk secara evolusi dalam tiga tahap; STAIN, IAIN & UIN. STAIN dipandang sebagai bentuk paling dasar dari kebudayaan dan peradaban PTKIN. Karena itu, banyak kampus PTKIN yang baru lahir dengan status bentuk STAIN, berlomba untuk mengubah bentuk menjadi IAIN hingga UIN. Konsep ini, seperti teori evolusi kebudayaan yang saya singgung sebelumnya. Civilization bukan hanya persoalan puncak dari evolusi, melainkan kebanggaan dalam sejarah umat manusia yang dipandang lebih beradab. Dalam konteks yang lebih spesifik, penambahan klaster jurusan perkuliahan adalah pembeda paling krusial yang bermuara pada teknologi dan ekonomi dalam konteks bentuk PTKIN nantinya, yang ditandai dengan melebarnya pasar penerimaan mahasiswa secara kuantitas.
Pun demikian, teori evolusi telah banyak mendapat tantangan dan kritikan dalam perkembangannya. Lahirnya teori diffusionisme sebagai bentuk penyebaran budaya dan nilai antar-masyarakat menjadi pandangan baru cara melihat kebudayaan. Ide yang dimunculkan oleh W.J Perry dan Elliot Smith peneliti dari Inggris yang menaruh perhatian pada budaya Mesir Kuno, selanjutnya dianggap mempengaruhi budaya di belahan bumi lain. Demikian pula dengan PTKIN, perubahan bentuk lewat evolusi nantinya akan berhadapan dengan konsep penyebaran nilai dan pengetahuan dan kemampuan menyerap perubahan tersebut dari berbagai lembaga dan Perguruan Tinggi lain yang telah mapan secara akademik.
STAIN ke IAIN; Antara Agigator Pasar dan Difusi Pengetahuan
Dorongan perubahan STAIN ke IAIN Meulaboh kian menguat, bunyinya menggema sejak Sekolah Tinggi ini menjadi salah satu kampus negeri di dalam daftar PTKIN. Berbagai usaha dan komunikasi secara vertikal dan horizontal telah dilakukan untuk merogoh status bentuk IAIN. Bagaimanapun, nama IAIN akan lebih bergengsi dan menarik minat pasar dalam industri pendidikan dibanding bentuk STAIN yang terkesan sebagai gerbong paling belakang PTKIN. Gerbong depan seperti UIN mendorong gelombang manusia Indonesia lebih besar minatnya untuk menjadi bagian “civilization” dari proses evolusi PTKIN ini. Selain jurusan umum yang menarik minat mahasiswanya, struktur dalam IAIN dan UIN akan menambah elit civitas akademik baru dalam istilah eselon.
STAIN Meulaboh yang kerap mengusung distingsi turats sebagai basis pengetahuannya pun berharap dengan perubahan bentuk menjadi IAIN akan menjadi agigator baru insititusi pendidikan tinggi dan mampu menarik minat mahasiswa yang lebih luas, khusus di kawasan Barat Selatan Aceh. Selain itu, perubahan bentuk menjadi IAIN juga akan diwarnai dengan penambahan jurusan baru dalam lingkungan institusinya. Artinya, ada penambahan ruang pengetahuan di sana. Problemnya, hegemoni pasar (jumlah mahasiswa) ikut menjadi tolak ukur dalam ranah pendidikan tinggi di Indonesia. Meskipun, pada saat yang bersamaan, posisi kualitas Perguruan Tinggi di negara ini justru berada di urutan tak terhingga ke bawah dalam daftar Perguruan Tinggi dunia lainnya dalam ranah pengembangan pengetahuan ke arah yang lebih serius (baca; kualitas).
Kekuatan pasar kerja kini menentukan minat mahasiswa bagi sebuah institusi Perguruan Tinggi. Jurusan-jurusan yang dianggap mampu beramalgamasi dengan pasar kerja akan diburu oleh calon mahasiswa. Karena itu, bentuk Perguruan Tinggi seperti IAIN dan UIN akan menyihir ribuan peminat untuk menjadi bagian dari kampus dibanding STAIN yang sering mengap-mengap memburu mahasiswa. Di sisi lain, muncul akreditasi kampus yang kerap dijadikan tolak ukur oleh calon mahasiswa memilih PT. Akreditasi memang sering menarasikan cerita indah bagi BAN PT, orientasinya juga sama yaitu pasar kerja bukan sekedar fiksi atas mutu. Wajar, jika PT di Indonesia lenyap dalam daftar PT terbaik di dunia.
Emil Salim dalam sebuah essai menulis sebuah Otokritik bagi lulusan UI, yang dilihatnya kian berjarak dengan rakyat kecil dan desa. Rata-rata lulusan telah menjadi elit dan pejabat, dan pemenuhan kebutuhan pasar kerja semata. Orientasi kampus dan pendidikan seharusnya dikembalikan pada tujuan pendidikan, yaitu memihak pada rakyat kecil (Ismail, dkk, 2004). Difusi pengetahuan dan keberpihakan pada rakyat kecil sudah seharusnya harus digenjot di setiap PT. Problemnya, memang PT kerap berhadapan dengan masyarakat yang dibelenggu oleh pasar.
Selamat Milad ke-6 STAIN Meulaboh, yang akan segera berubah bentuk menjadi IAIN Meulaboh. Tantangan ke depan adalah bagaimana menyikapi gempuran pasar yang kian masif dalam industri pendidikan, dan kemampuan menyerap nilai akademik yang benar, melalu pengembangan pengetahuan, publikasi ilmiah, dan orkestra akademik lewat difusi pengetahuan. Evolusi akan berlalu, lewat difusi, peran civitas akademik STAIN Meulaboh dituntut menghadirkan bentuk IAIN yang berbeda, insititusi yang mampu “manggung” di panggung orkestra akademik layaknya PT dan PTKIN ternama di Indonesia.