“TRANSFORMASI STAIN TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH MENUJU PERGURUAN TINGGI UNGGUL DAN BERDAYA SAING”
Pentingnya Ahklak dalam Mencegah Perbuatan Dzalim
Pentingnya Ahklak dalam Mencegah Perbuatan Dzalim
Oleh: Jon Paisal
Salah satu dari tujuan dan fungsi pendidikan adalah untuk mendorong manusia agar menjadi orang yang beriman dan menjadi warga negara yang baik. Kenyataan hari ini, mengapa banyak oknum yang semakin tinggi ilmu pengetahuannya justru semakin gagal menjadi orang yang amanah dalam orientasi beragama maupun bernegara? Menurut hemat saya, itu bisa terjadi karena mereka tidak memposisikan ilmu sebagai muatan akhlak dalam hidup. Baik berupa akhlak terhadap Tuhan maupun akhlak sesama manusia, sehingga cendrung melakukan perbuatan tercela.
Akhlak manusia sekarang memang sangat meresahkan, tidak sedikit oknum yang rutin beribadah namun juga gemar berbuat dosa. Terkadang mereka tahu bahwa itu adalah dosa, tapi entah mengapa pengetahuan itu tidak memproteksinya hingga tetap jatuh pada praktek dzalim. Padahal, ilmu itu pada dasarnya murni, perwakilan dari cahaya ilahi agar manusia bisa menebar kemaslahatan di muka bumi. Selanjutnya, ilmu itu bisa menjadi kotor ketika bersentuhan dengan watak manusia yang rakus dan mengikuti langkah-langkah saytan. Manusia yang demikian, menganggap bahwa perbuatan tercela adalah sesuatu yang ‘lumrah’ di masa sekarang, sehingga ia senantiasa mencari alasan bahwa tindakan dosa yang dilakukan adalah sebuah kewajaran. Ketika seorang manusia sudah mencari ‘dalih’ dari segala tindakannya agar terkesan ‘benar’, maka disanalah hati mereka terkunci meskipun memiliki pengetahuan agama yang baik.
Kejadian di Aceh Timur misalnya, seorang ibu tega membuang anak kandungnya tanpa pertimbangan akan seperti apa nasib anak itu selanjutnya (Serambi, 15 juni 2020). Bayangkan, hewan saja tidak pernah membenci apalagi membuang anak yang mereka lahirkan. Namun itu terjadi pada manusia yang secara fitrah dianugrahi akal dan kesadaran beragama dalam dirinya. Fenomena ini tentu menjadi indikator bahwa manusia tanpa ahklak bisa lebih rendah dari binatang, sedangkan jika ia memiliki ahklak yang agung maka ia bisa lebih mulia dibandingkan malaikat.
Bila dikaitkan dengan ajaran Islam, orang yang berpendidikan tidak hanya beramal dalam konteks ibadah hablumminallah semata. Pada sisi lain, sebagai manusia juga dianjurkan berbuat baik kepada sesamanya sebagai suatu ibadah hablumminannas. Berangkat dari sinergitas kedua amalan ini yang seharusnya seimbang, maka sesama manusia tidak boleh saling merendahkan apalagi sampai menyakiti. Meskipun begitu, berdasarkan fenomena yang terjadi disekeliling kita, sebagian orang terdidik masih berperilaku tidak terdidik. Hal tersebut terlihat ketika gelar akademisnya tidak mengantarkannya menjadi sosok yang dewasa, seperti merasa tinggi hati, sombong, dan menganggap rendah oranglain. Seharusnya, semakin tinggi ilmu seseorang maka ia semakin ‘rendah hati’ dan berjiwa menyejukkan.
Saat ini, potensi ‘permusuhan’ bagaikan kapas yang mudah diterbang angin. Begitu mudahnya orang-orang untuk bersengketa hingga pada akhirnya saling membenci dan memutuskan tali persaudaraan meskipun mereka bersaudara dalam ikatan darah ataupun saudara dalam ikatan ukhwah islamiah. Inilah yang membuat umat muslim saat ini terpuruk dan sulit berkembang.
Padahal, kehidupan manusia hanya bisa maju jika hidup berjama’ah dan saling berdampingan. Seorang pakar pernah berkata; “Man is born a social being”. Manusia dilahirkan sebagai maklhuk sosial, hidup bermasyarakat yang saling membutuhkan satu sama lain, begitulah fitrah manusia yang sebenarnya. Manusia harus bersifat ‘pendamai’, jika jumpa masalah besar maka dikecilkan, jika menjumpai masalah kecil maka dihilangkan. Bukan sebliknya, mencari masalah dan membesar-besarkannya. Inilah masalah yang tengah menghantui umat muslim saat ini, mereka bukan bersatu (meski dalam perbedaan khilafiah), namun justru saling mengkafirkan satu sama lain.
Prof. M. Hasbi Amiruddin dalam bukunya yang berjudul ‘Jihad Membangun Peradaban’ menjelaskan; “Ketika melihat situasi umat Islam saat ini banyak kalangan yang merasa prihatin, sesama muslim saling berpecah belah dikalangan sendiri. Antara satu negara Islam dengan negara umat Islam lainya saling bermusuhan, bahkan juga terjadi dalam satu negara atau satu bangsa. Berbagai faktor telah menyebabkan mereka saling berselisih, mulai dari perebutan sumber ekonomi, kekuasaan, perbedaan bangsa, perbedaan suku, perbedaan mazhab atau aliran dalam agama, sampai pada perbedaan lembaga pendidikan dan perbedaan guru dimana mereka belajar”.
Jangan Dzalim
Dzalim atau yang lebih dipahami dengan ‘aniaya’ merupakan salah satu sifat tercela. Baik itu dzalim terhadap diri sendiri maupun mendzalimi orang lain. Dalam Al-Quran sangat banyak ayat yang melarang perbuatan dzalim, sebagaimana Allah Swt berfirman yang artinya; “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS. Alim Imran; 57). “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah . sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS. Asyuura; 40).
Nabi muhammad SAW bersabda; “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta dan lainya, hendaknya agar segera meminta maafnya sekarang juga, sebelum datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau dirham, jika ia mempunyai amal saleh, maka akan diambil menurut penganiannya, dan jika tidak mepunyai hasanat (kebaikan), maka diambil dari kejahatan orang yang dianiaya untuk ditanggungkan kepadanya” (HR. Bukhari, Muslim).
Ayat dan hadis di atas, menjadi peringatan keras bagi siapa saja untuk menghindari perbuatan dzalim. Maka, memiliki ilmu pengetahuan agama untuk diamalkan bukan hanya dijadikan pajangan saja, karena mengamalkan ilmu merupakan cerminan dari ahklak seseorang. Maka, mari jadikan ahklak sebagai media dalam mencegah perbuatan dzalim. Seperti mengamalkan sebuah pengetahuan walaupun hanya sedikit, sebab itu lebih baik dari pada memiliki banyak ilmu namun disalah fungsikan. Buat apa banyak ilmu, menjadi guru besar, memiliki jabatan dan kekuasaan namun sesamanya saling ribut bahkan untuk sesuatu yang bukan miliknya.
Perebutan aset jalan misalnya, secara harfiah itu adalah milik umum dan siapa saja memiliki hak berjalan di atasnya selama tidak merusak dan merugikan. Namun, ada oknum yang diberikan sedikit wewenang, menyalah artikan fungsi itu seolah tanah itu adalah miliknya pribadi. Bahkan, mereka sanggup memblokir fungsi jalan yang digunakan bersama. Mirisnya, ini dilakukan oleh oknum-oknum yang secara identitas adalah orang berilmu dan terpandang.
Jon Paisal, M.Ag. Dosen Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) STAIN Meulaboh dan Anggota Komunitas Menulis Pematik Chapter Aceh Jaya. Email:Jonpaisal2@gmail.com